Memasuki abad ke-21, mulai banyak bermunculan istilah psikologi mengenai ‘toxic’, mulai dari toxic friend, toxic relationship, toxic parents, hingga toxic masculinity. Terma toxic success atau kesuksesan beracun pun turut dihadirkan dalam wacana psikologi dan kehidupan sehari-hari.
Apa itu toxic success?

Ilustrasi | Foto: Unsplash
Adapun istilah toxic success pertama kali dipopulerkan oleh Paul Pearsall melalui buku terbitannya di tahun 2002 silam. Di risalahnya, Paul menuliskan kesuksesan seperti ini diperoleh dengan mengorbankan kebahagiaan pelakunya. Baik itu dari segi kesehatan fisik, kebahagiaan mental, maupun relasi sosial mereka. Dengan demikian mereka tidak merasa bahagia selama mencapai kesuksesannya.
Ini wajar saja terjadi, mengingat konstruksi sosial memaksa dan menuntut kita untuk mencapai kesuksesan sesuai standar mereka. Semakin tinggi kesuksesan yang dimiliki banyak orang, semakin tinggi pula ekspektasi yang diberikan oleh ‘orang-orang sukses’ dan ‘lingkungannya’ kepada generasi berikutnya.
Terlebih kehadiran media sosial yang memantik api baru pada standar kesuksesan. Berkat adanya metrik yang menampilkan keterukuran postingan, orang-orang semakin terbawa arus dalam menetapkan standar kesuksesan baru. Dan ikut mengejar penerimaan dan pengakuan dari publik. Demikianlah toxic success semakin menjadi-jadi.
Ongkos mahal toxic success

Ilustrasi | Foto: Unsplash
Bagaimana cara mengenali orang-orang dengan toxic success? Caranya cukup mudah. Amatilah sikap mereka. Apakah mereka sudah merasa puas dengan kehebatannya yang sudah luar biasa. Apakah mereka sering menggerutu ‘ketidaksuksesan’ diri dan terus berambisi untuk mencapai hal yang lebih tinggi atau tidak.
Para pelakunya kerap kali terbuai dengan standar kesuksesan orang lain. Memacu mereka untuk berjuang untuk mencapai kebahagiaan versi orang lain. Tanpa menyadari apakah perbuatan itu membebani tubuh mereka atau tidak.
Lebih dari itu, toxic success bisa memberikan banyak kerugian untuk perusahaan. Sekilas memang karyawan dengan ambisi berlebih dapat mendorong tim ke depan. Kendati demikian, kegiatan seperti ini tidaklah berkelanjutan. Dan malah membuat tim semakin terpuruk. Apalagi jika mereka mengambil posisi sebagai pemimpin, imbas perbuatannya itu ke perusahaan secara keseluruhan.
Cara mengatasi

Ilustrasi | Foto: Unsplash
Setelah membaca topik toxic success, barang tentu Anda merasa betapa merugikannya fenomena ini kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Maka itu, sudah seyogyanya mengatasi toxic success dilakukan sedari sekarang.
Cobalah untuk mendefinisikan standar kesuksesan Anda sendiri. Sesuai tujuan hidup dan hal-hal yang membuat diri bahagia. Jika sudah, fokuslah mengejar impian diri sendiri; tidak usah menengok kanan-kiri untuk melihat betapa hijaunya rumput tetangga.
Utamakan pengalaman dan proses untuk mencapai kesuksesan. Awalnya memang terlihat berat dan tidak menyenangkan di mata Anda. Namun, percayalah pada diri Anda sendiri. Tidak usah terburu-buru dan nikmatilah perjalanan Anda!
Itulah fakta seputar toxic success. Seperti apa istilah tersebut, apa saja kerugian darinya, dan cara mengatasinya. Semoga artikel ini dapat menghindarkan atau membantu Anda menghadapi toxic success, ya!
0 Comments